
Lagi buka catatan di notepad, ketemu catatanku untuk bunda tersayang. Pas bangeud gi kangen ma ibu padahal ahad kemarin baru aja pulkam.
Kukirimkan surat berisi untaian kata berharga untuk perempuan tersayangku, ibu.
Assalamu'alaikum ibuku...
Apa kabarmu sore ini? Masihkah ibu makan-makanan yang bening berkuah, tanpa rasa yang lebih apalagi pedas? Masihkah ibu merasakan nyeri di ulu hati ibu yang disertai rasa mual? Sudah check-up kah, Bu? Gimana kata Dokter tentang kondisi ibu?
Aku sudah terbiasa menahan tangisku agar tidak tumpah di hadapan orang lain. Namun, jangankan kuasa untuk menahan tangisku, menutupi kalau hati ini sungguh terluka pun demikian beratnya, kala dirimu terbaring lemah dengan wajah pucat pasi. Pergelangan nadimu dialiri infus untuk menyokongmu mendapat asupan makanan karena apapun yang masuk ke dalam mulutmu - rasanya belum sampai ke usus halusmu - sudah engkau muntahkan kembali. Akibatnya, badanmu pun jadi terlihat bengkak.Di malam itulah, Ibu, untuk kali pertamanya setelah aku beranjak dewasa tidur bersamamu, di sebelahmu, sambil memelukmu dengan erat.
Perempuan tersayangku, Ibu.
Aku nakal ya waktu kecil. Sering nangis, teriak-teriak. Bahkan sampai bergulingan di tanah ketika kemauanku tidak terpenuhi. Ah... aku sedih mengingatnya, Bu! Sedih karena merasa begitu cengengnya aku kala itu. Sedih ketika sikapku itu memaksamu kehilangan kontrol emosimu sehingga cubitan tanganmu mendarat hebat di pahaku hingga meninggalkan warna biru di sana. Kala itu, aku sedih dan merasa dirimu tidak menyayangiku. Kala ini, betapa baru kusadar, ternyata, dirimu demikian sayang dan cintanya kepadaku.
Ibu..
Entah berapa malam yang telah engkau lewatkan bersama do'a dan curahan hatimu kepada Allah Subhanahu Wata'ala untuk kami anak-anakmu. Dan telah berapa kali dirimu menahan kesabaran untuk kami.
Ibu..! Aku ingat deh. Puasa yang aku rasakan terberat tapi juga paling nikmat di sepanjang usiaku. Saat itu aku masih kuliah tingkat dua. Karena kemarau melanda, sulit bagi bapa untuk mendapatkan penghasilan lain karena sawah sebagai mata pencaharian utama tidak bisa digarap.
Kala itu, hari sudah menjelang petang. Yang ada di meja makan hanya nasi putih saja untuk berbuka puasa. Tapi Alhamdulillah, Allah masih memberi kita nasi putih ya, Bu! Namun, jiwamu - sebagai ibu rumah tangga - tidak rela kalau keluargamu hanya menikmati nasi putih saja untuk buka puasa. Entahlah engkau kemana. Yang pasti kutahu, tidak berapa lama, dirimu kembali sambil menenteng sayuran yang kami sebut "timbul". Segera engkau memasaknya. Bu, bagiku, itulah buka puasa ternikmat dalam sepanjang hidupku.
Bu.. kini engkau bisa melihat anakmu yang sekarang. Insya Allah. Aku akan berusaha untuk menjadi anak sholihah bagi dirimu dan bapak.
Ibu.. demikian kangenya aku saat menulis surat ini. Demikian inginya aku merebahkan kepala penatku ini di pangkuanmu dan engkau mengusap lembut kepalaku. Dan.. betapa ingin kunikmati pepes ikan bandeng buatanmu yang tiada ada duanya.Jempolku yang empat belum cukup untuk melambangkan kelezatannya. Pokoknya aku pulang besok pengen makan pepes itu. tuh, kan! Aku keras kepala lagi. Tenang Bu! Besok bumbunya ibu yang kasih tau ya biar aku yang masaknya. Ibu kan belum lama sembuhnya. Jangan dulu melakukan pekerjaan yang berat-berat ya!!
Ibu.. aku ngantuk nih!! Besok pagi sudah harus kerja lagi. Ibu baik-baik ya di rumah.
Aku sayang Ibu..
Tidur yang nyenyak, ya!!