http://mlbboards.com

Rabu, 17 Oktober 2012

Jangan bengong, Teliti!

Jangan bengong! teliti dan sudah shodaqoh belum?
Itulah sekelumit kalimat yang senantiasa terngiang hingga saat ini di telingaku yang keluar dari bibir salah satu dosen Bahasa Inggris yang pernah mengajar di kantorku. Sekarang dia sebagai agent native speaker.

Sekitar seminggu lebih, mahasiswa/i disuguhkan dengan native speaker. Fee nya, selalu aku berikan ke dosen fulltime di kantor yang memang mengurusi itu. Di pertemuan terakhir, saat dosen fulltime itu bilang langsung saja agentnya yang ke aku, aku mengiyakan.

Sore, Mr agent ke tempatku. Aku buatkan kwitansi dengan sejumlah Rp. Aku ambil uang, aku hitung sudah sesuai dengan yang tertera.

Ba'da Maghrib, beliau datang untuk menukarkan uang 50rb. Tanpa berpikir ya aku kasih.

Selang beberapa lama, dia kembali dan berkata "Mba ngasih uang ke saya sebenarnya berapa?"
Deg! aku baru sadar. seperti baru diguncang untuk bangun dari tidur. Aku ngeh kalo uang yang aku berikan merah semua. Padahal seharusnya ada birunya 1 lembar.

Ngga konsen, mencari selisihnya. Mo cash opname juga jd ngga kepikiran. ditungguin malah sama mr agentnya. Aku coba mengingat dan aku sebut sejumlah Rp.

Benar segitu? Dia bertanya lagi
Aku ngangguk (masih sangsi sih)

Ngga taunya, mr agent itu tau aku ngasih uangnya brp. Ngetes aku, aku ingat dan teliti ngga. Lemes aku. Yang aku kasih sisanya banyak.
Ya Allah, terima kasih. Engkau kirim orang jujur padaku. Orang yang mau mengingatkan aku.

Selasa, 16 Oktober 2012

Refresh Tujuan Nikahmu

Membaca kisah ini, tanpa terasa menitiklah air mata.
Ngga sengaja menemukan artikel ini di blognya
http://vikikurdiansyah.wordpress.com

Prolog Sebuah cerita yang mengingatkan kita kembali akan makna dan tujuan menikah. Cocok bagi yang udah nikah maupun yang mau menikah. Semoga mendapat hikmah dari cerita ini

Di kamar yang amat sederhana. Di atas dipan kayu ini aku tertegun lama. Memandangi istriku yang tengah tertunduk dan diam seribu bahasa. Setelah sekian lama saling diam, akhirnya dengan membaca basmalah dalam hati kuberanikan diri untuk menyapanya.

”Assalamu’alaiki…. permintaan hafalan Qur’annya mau dibacakan kapan, Dek?” tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sejak tadi disembunyikan dalam tunduknya.

Sebelum menikah, istriku memang pernah meminta malam pertama hingga ke sepuluh agar aku membacakan hafalan Qur’an tiap malam satu juz. Dan permintaan itu telah aku setujui.
 ”Nanti saja saat qiyamullail,” jawab istriku masih dalam tunduknya.
 Wajahnya yang berbalut kerudung putih, ia sembunyikan dalam-dalam.
Saat kuangkat dagunya, ia seperti ingin menolak. Namun, ketika aku beri isyarat bahwa aku suaminya dan berhak untuk melakukan itu, ia pun menyerah. Kini aku tertegun lama. Benar kata ibu bahwa istriku “tidak menarik”. Sekelebat pikiran itu muncul dan segera aku mengusirnya. Matanya berkaca-kaca menatap lekat pada bola mataku.
 ”Bang, sudah saya katakan sejak ta’aruf (awal perkenalan), bahwa fisik saya seperti ini. Kalau Abang kecewa, saya siap dan ikhlas. Namun bila Abang tidak menyesal beristrikan saya, mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan yang banyak untuk Abang. Seperti keberkahan yang Allah limpahkan kepada Ayahanda Imam Malik yang ikhlas menerima sesuatu yang tidak ia sukai pada istrinya. Saya ingin mengatakan pada Abang akan firman Allah yang dibacakan ibunya Imam Malik pada suaminya pada malam pertama mereka,”Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) dengan baik (ma’ruf). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjanjikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisa: 19)

Mendengar tutur istriku, kupandangi wajahnya yang penuh dengan air mata itu lekat-lekat. Aku teringat kisah suami yang rela menikahi seorang wanita yang cacat itu. Dari rahim wanita itulah lahir Imam Malik, ulama’ besar ummat Islam yang namanya abadi dalam sejarah.
 ”Ya Rabbi aku menikahinya karena-Mu. Maka turunkanlah rasa cinta dan kasih sayang milik-Mu pada hatiku untuknya. Agar aku dapat mencintai dan menyayanginya dengan segenap hati yang ikhlas. Pelan kudekati istriku. Lalu dengan bergetar, kurengkuh tubuhnya dalam dekapku. Sementara, istriku menangis tergugu dalam wajahnya yang masih menyisakan segumpal ragu.
 ”Jangan memaksakan diri untuk ikhlas menerima saya Bang. Sungguh… saya siap menerima keputusan apapun yang terburuk,” ucapnya lagi.
 “Tidak Dek, sungguh sejak awal, niat Abang menikahimu karena Allah. Sudah teramat bulat niat ini. Hingga Abang tidak menghiraukan ketika seluruh anggota keluarga memboikot untuk tidak datang saat akad tadi pagi,” paparku sambil meggenggam erat jemarinya.
Malam telah naik ke puncaknya pelan-pelan. Dalam lengangnya malam, bait-bait doa kubentangkan pada-Nya.
”Rabbi, tak kupungkiri bahwa kecantikan wanita dapat mendatangkan cinta buat laki-laki. Namun telah kutepis memilih istri karena rupa yang cantik, karena aku ingin mendapatkan cinta-Mu. Rabbi, saksikanlah malam ini akan kubuktikan bahwa cinta sejatiku hanya akan kupasrahkan pada-Mu. Karena itu pertemukanlah aku dengan-Mu dalam jannah-Mu!” Aku beringsut menuju pembaringan amat sederhana itu. Lalu kutatap raut wajah istriku dengan segenap hati yang ikhlas. Ah, sekarang aku benar-benar mencintainya. Kenapa tidak? Bukankah ia wanita shalihah sejati. Ia senantiasa menegakkan malam-malamnya dengan munajat panjang pada-Nya. Ia senantiasa menjaga hafalan kitab-Nya. Dan senantiasa melaksanakan shaum sunnah rasul-Nya. Ya Allah, sesungguhnya aku ini lemah, maka kuatkan aku. Dan aku ini hina, maka muliakanlah aku. Dan aku fakir, maka kayakanlah aku wahai Dzat Yang Maha Pengasih.  

Diceritakan kembali dari cerita yang berjudul “Gejolak Jiwa di Malam Pertama” dari Tabloid Media Ummat yang beralamat di JL. Wilis 11 Malang, edisi 59/ tahun ke-2.
 
Efek Blog