http://mlbboards.com

Jumat, 10 Oktober 2014

Tamu Kala Itu (Episode Kampus)

Saya dapat aiphone dari depan kalau ada salah satu mahasiswa datang dengan keluarganya ingin bertemu saya. Saya mengernyitkan alis dan mempersilahkan anak tersebut dan keluarganya ke ruangan saya.

Hmmm.. ada gerangan apakah lagi coz minggu lalu anak itu sudah meminta tanda tangan saya untuk pindah kelas ke sore. Saya pikir dia sudah kuliah dan yang menangani dia nantinya adalah rekan kerja saya yang lain.

Dia datang bersama mama papanya. Duduklah mama papanya di hadapan saya. Bertanya pada saya perkembangan anaknya. Saya jelaskan seperti yang anak tsb jelaskan pada saya.

Saya agak kaget melihat reaksi anak itu yang pundung (baca : ngambek) berdiri membelakangi saya dan ortunya. Ditanya sama saya dan mamanya cuma manyun dan geleng-geleng. Saya sampe melepas napas. Sudah jadi mahasiswa tapi menghadapi masalah seperti itu layaknya anak TK yang ngambek sama ortunya minta dibelikan atau diajak kemana.

Ya, akhirnya, ortunya minta ditelponkan kakanya. Tepatnya kaka iparnya agar menelpon balik ke kampus. Ngobrolah saya dengannya panjang kali lebar. Bahwa memang kakanya yang menanggung biaya kuliahnya dan kakanya melihat sudah tidak ada respek anak itu untuk kuliah lagi, lebih senang dengan game online. Baiklah, saya tidak bisa menahan karna memang yang menjalani adalah dia sendiri. Kakanya juga sudah angkat tangan.

Papanya akhirnya membuat surat pernyataan mengundurkan diri dari kampus. Mama dan anak itu keluar untuk membeli materai. Ngobrollah saya dengan papanya. 

Perjalanan hidup papanya - yang baiknya saya panggil beliau opa seperti yang lain memanggilnya - dengan gamblangnya diceritakannya pada saya. Seperti plong dia bercerita padahal saya orang baru yang dikenalnya. 

Pesan yang secara tersirat dari ceritanya adalah bahwa kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Berasal dari tanah, tinggal di tanah, akan kembali ke tanah, lantas apa yang kita sombongkan? Roda bisa berputar. Hidup gemerlap kemewahan bisa terbalik menjadi nestapa. Apa yang dialami di masa muda beliau sekarang dipetik di usia senjanya. Tapi beliau sekarang menikmati, lebih tenang dan lepas dengan hobby nya menyanyi. Namun, beliau sadar, menyesal karna tidak bisa (Ah tidak, belum bisa pastiya) menjadi papa yang bisa melihat sukses anak bungsunya. Dia sangat ingin melihat anaknya sarjana. 

Saya do'akan opa, kelak Allah membalikkan hati anak bungsu opa untuk mau mewujudkan dan menyenangkan opa di hari tua opa.

Dan, ah.. saya tersenyum kecut saat mama dan anak itu kembali ke ruangan saya, anak itu tersenyum lebar tidak seperti saat masuk tadi. Seperti beban sudah terlepas dengan dia keluar/mengundurkan diri dari kampus. Saya sangat ingin sebenarnya mengungkap apa yang ada di benaknya, kenapa dia tidak mau kuliah?

Banyak sebenarnya yang saya ingin tau dengan berbagi dan bercerita dengan papanya anak itu. Dan banyak pula yang saya ingin dengar dari siapapun di luar sana yang ceritanya, atau kata-katanya bisa saya jadikan muhasabah bagi diri saya.

~ Bekasi, 10 Oktober 2014 ~

Lisna

0 komentar:

Posting Komentar

 
Efek Blog